Kamis, 18 Juli 2013

Rizal Ramli Saat Menjabat Menteri Keuangan: “Beri Solusi Jitu Atasi Problem BII”


[RR1-online]:
AKIBAT resesi ekonomi Indonesia tahun 1997/1998, membuat sendi-sendi perekonomian di tanah air terasa amat sulit bergerak. Termasuk pada awal Juli 2001, pemerintah menghadapi situasi yang amat pelik sehubungan dengan rush yang dialami Bank Internasional Indonesia (BII). Bank yang sahamnya sudah dikuasai 100% oleh pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu diserbu nasabah. Mereka menarik dana simpannya di BII seiring dengan mencuatnya kontroversi kredit yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun.

Kredit yang disalurkan kepada kelompok usaha yang dipimpin konglomerat, Eka Tjipta Widjaya – pemilik lama saham BII – dikabarkan masuk kategori lima alias macet total.


Kontan saja hal ini memancing isu miring: BII kesulitan likuiditas. Nasabah BII pun mulai panik dan menarik simpanannya. Jumlah dana yang ditarik semula cuma puluhan miliar rupiah. Belakangan, kepercayaan nasabah terhadap BII kian goyah, sehingga pemilik duit pun rame-rame menarik hingga mencapai Rp.500 miliar.

Situasi itu sudah lampu merah, bukan cuma bagi BII sendiri, melainkan juga bagi perbankan nasional secara keseluruhan. Jika rush terhadap BII terus berlanjut, pada akhirnya akan muncul efek domino: bank-bank lain akan ikut kena getahnya, diserbu nasabah yang juga panik menarik dananya.

Sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) ketika itu, Rizal Ramli melihat gelagat buruk bisa menerpa ekonomi Indonesia kembali jika sistem perbankan ambruk lagi. “Jika perbankan kolaps lagi, saya mesti lengser sebagai Menteri Keuangan,” kata Rizal Ramli. Maka, rapat maraton pun segera digelar, melibatkan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution, pejabat tinggi Departemen Keuangan dan staf Menko Perekonomian. Tujuannya, mencari solusi untuk menghentikan “pendarahan” (bleeding) di BII.

Dari IMF dan Bank Dunia masuk dua usulan untuk menghentikan rush di BII. Pertama, merekapitalisasi ulang BII yang memerlukan suntikan dana segar Rp.4,2 triliun. Kedua, melikuidasi BII yang akan memakan biaya Rp.5 triliun –itu sudah termasuk biaya untuk mengganti dana pihak ketiga dan biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan BII.

Bagi Rizal Ramli, alternatif pemecahan masalah yang disodorkan IMF-Bank Dunia sama-sama pahitnya. Secara pribadi, sebelum masuk ke gerbang pemerintahan Rizal Ramli memang paling tidak setuju dengan pola penyelesaian masalah yang gampangan seperti itu. Apalagi kemudian memang terbukti, bahwa rekapitalisasi belasan bank yang diamputasi tahun 1998, membebani keuangan negara hingga Rp.600 triliun. “Biaya penyelamatan bank yang dilakukan atas rekomendasi IMF-Bank Dunia itu merupakan yang terbesar di dunia. Dan itu pada akhirnya menjadi beban rakyat Indonesia,” ujarnya.

Rizal Ramli tidak ingin mengulangi jejak langkah pejabat Indonesia di masa lalu, yang hanya selalu manggut-manggut dan melaksanakan rekomendasi atau saran yang diajukan oleh IMF-Bank Dunia. Apalagi kemudian pula terbukti, rekomendasi yang diberikan oleh kedua lembaga keuangan internasional itu bukannya menyembuhkan krisis ekonomi,
tetapi malah kian membenamkan Indonesia ke jurang krisis yang amat dalam.

Maklum saja, ketika krisis moneter mulai menerjang Indonesia pada tahun 1997, sektor keuangan dan perbankan adalah yang paling awal terkapar. Masyarakat menarik dananya yang disimpan di perbankan nasional secara membabi buta. Perbankan pun kolaps.

Pada bulan November IMF-Bank Dunia menyodorkan saran untuk melikuidasi 16 bank swasta nasional yang bermasalah tanpa persiapan yang memadai. Memang, di antara 16 bank itu terdapat tiga bank yang terkait dengan keluarga dan kroni Soeharto.

Awalnya, kebijakan likuidasi itu dianggap sebagai tindakan yang berani dan heroik, karena pemerintah memberi kesan tak pandang bulu dalam membenahi industri perbankan yang keropos. Tetapi, karena kebijakan itu dilakukan tanpa persiapan yang matang, publik pun kemudian menjadi terkaget-kaget karena begitu banyak bank yang ditebas pedang likuidasi.

Dampaknya sangat dahsyat: kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank nasional secara keseluruhan langsung merosot ke titik nadir. Akibatnya, bank yang tadinya sehat pun, seperti BCA dan Bank Danamon, akhirnya ambruk juga karena di-rush secara besar-besaran oleh nasabahnya. Dana yang tadinya mengendap di bank-bank nasional segera berpindah ke bank-bank asing. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai US$ 8 miliar. Dan itu kemudian diikuti oleh capital outflow (pelarian dana dari Indonesia ke luar negeri), yang jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan miliar US$.

Kondisi itu akhirnya semakin mendorong kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar rupiah terhadap US$ yang tadinya sekitar Rp 2.800/US$ tidak bisa ditolong lagi: ambruk menjadi di atas Rp 15.000/US$. “Sebetulnya, ada cara lain untuk menyelamatkan perbankan, yaitu pemerintah mengambil oper dulu bank yang bermasalah. Biayanya paling banter hanya Rp.4 triliun. Setelah itu, baru kemudian meminta pertanggungjawaban finansial dan legal dari pemilik saham bank-bank itu,” kata Rizal Ramli.
Jika cara itu yang ditempuh (bukan saran IMF-Bank Dunia yang dijalankan) maka kepercayaan publik terhadap bank-bank nasional tidak akan mengalami guncangan yang dahsyat, sehingga membuat hampir semua bank kolaps.

Jelas, di mata Rizal Ramli, diagnosis dan obat yang diberikan IMF-Bank Dunia sangat keliru, sehingga penyakit ekonomi yang mendera Indonesia tidak sembuh. Bahkan sebaliknya, penyakitnya kian parah!

SARAN IMF-BANK DUNIA? NO WAY!
Dari pengalaman tersebut di atas, Rizal Ramli tentu saja menolak mentah-mentah usulan dari IMF-Bank Dunia untuk mengatasi problem yang membelit BII. Rizal Ramli bahkan bertekad tidak akan menginjeksikan dana rekapitalisasi baru. Juga tidak menutup operasi BII.

Rizal Ramli pun berpikir untuk segera bergerak cepat untuk mencari jalan keluar yang berbeda ketimbang saran IMF-Bank Dunia. “BII kan bank yang bagus. Jaringan cabangnya luas, punya basis bisnis kartu kredit
yang cukup besar, dan namanya juga cukup baik di mata nasabah,” bisik di benaknya.

Persoalannya, bagaimana cara menyelamatkannya? Itulah yang terus dipikirkan Rizal Ramli. Akhirnya, solusi yang smart akhirnya ditemukan pada hari Sabtu 30 Juni 2001 (17 hari setelah Rizal Ramli dilantik sebagai Menteri Keuangan). Dari situ, Rizal Ramli pun mengundang rapat Anwar Nasution, I Putu Gede Ary Suta, Kepala Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) Herwidayatmo, dan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe.

Dalam rapat itu, Rizal Ramli memaparkan gagasan penyelamatan BII dengan cara “membuat berita” seakan-akan Bank Mandiri men-take over BII. “Tapi, saya tidak mau Bank Mandiri mengeluarkan duit serupiah pun untuk menyelamatkan BII. Langkah ini kita ambil untuk buying-time, mengulur waktu sehingga kepanikan nasabah BII tidak kian menjadi-jadi,” kata Rizal Ramli.

Caranya? Begini: Dirut Bank Mandiri ECW Neloe diminta mengadakan konferensi pers mengenai pengambilalihan kepemilikan BII oleh Bank Mandiri. Nah, jika publik tahu bank dengan aset paling besar di Indonesia itu berada di belakang BII, diharapkan para nasabah BII menjadi tenang, sehingga serbuan nasabah bisa diredam.

Maka, pada hari Senin tanggal 2 Juli 2001, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe kepada pers mengumumkan bahwa Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. “Kemungkinannya, 70 hingga 80 persen Bank Mandiri akan mengakuisisi
BII. Tapi, terlebih dulu akan dihitung harganya, kemudian tinggal tawar-menawar berapa harga yang pantas,” ujarnya.

Neloe mengungkapkan itu dalam jumpa pers bersama Menkeu Rizal Ramli, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, Ketua Bapepam Herwidayatmo, dan Dirut BII Hiroshi Tadano. Jumpa pers dilaksanakan usai pertemuan yang berlangsung sejak pukul 13.00 hingga 19.00.

Para wartawan terus “mengejar” Neloe dengan berabagai pertanyaan tentang biaya yang akan dikeluarkan Bank Mandiri untuk mengambil oper BII, nasib pinjaman yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun yang macet, dan kaitannya dengan rencana Bank Mandiri go publik pada Oktober tahun 2001. Neloe menjawab semua pertanyaan wartawan tersebut dengan tangkas dan meyakinkan.

Keesokan harinya, di kantor-kantor BII, hasil konferensi pers difotokopi dan ditempel di papan pengumuman, sehingga semua nasabah yang datang ke semua kantor cabang dan cabang pembantu BII bisa mengetahui bahwa BII kini di-back up secara penuh oleh Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia. Nasabah pun menjadi tenang.

Kepanikan langsung mereda. Bahkan para nasabah kembali menyimpan uangnya di BII, karena BII pun memberikan suku bunga ekstra 1-2 persen di atas suku bunga perbankan pada umumnya.

Direksi BII, dengan Dirut Harashi Tadano langsung diganti dengan bankir gemblengan Bank Mandiri, Cholil Hasan sebagai ketua Tim Pergelola, dibantu oleh Arman B. Arif (sebagai Wakil Ketua, eks Vice President Bank Danamon), Sukatmo Padmosukarso (juga dari Bank Mandiri) dan sejumlah bankir yang berasal dari BII sendiri.

Kepada jajaran Direksi baru BII, ketika itu Rizal Ramli memberikan target waktu untuk membenahi BII hingga bisa segar bugar kembali. “Saya minta direksi baru bisa menyelesaikan problem yang dihadapi BII dalam waktu tiga bulan. Kalau tiga bulan tidak beres, bukan hanya Anda semua, saya juga harus lengser sebagai Menteri Keuangan dan mencari pekerjaan lain!” kata Rizal Ramli.

Alhasil, jajaran direksi baru itu mampu membawa BII keluar dari krisis kepercayaan yang nyaris membuat bank ini tersungkur lagi hanya dalam tempo satu setengah bulan. Dengan solusi kebijakan inovatif yang diterapkan oleh Rizal Ramli, krisis BII bisa diredam tanpa menimbulkan efek domino kepada bank lain. Juga tanpa perlu merogoh kocek pemerintah sepeser pun! Sebuah terobosan yang jitu.

Bayangkan, jika pemerintah mengikuti saran IMF-Bank Dunia, keuangan negara tentu akan jebol antara Rp.4-5 triliun. Namun model penyelamatan yang dilakukan Rizal Ramli biayanya sangat murah. “Cuma keluar biaya PR (public relations),” kata Rizal Ramli sambil tersenyum seraya menambahkan bahwa yang penting kita bisa bergerak cepat menangkap core issue-nya. Lalu melakukan koordinasi untuk mengatasinya.

MENGEJAR GRUP SINAR MAS
Setelah nasib BII dipastikan aman, sebagai Ketua KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan), Rizal mulai mengejar pertangungjawaban Grup Sinar Mas. Maklum, penyelamatan BII oleh pemerintah, memunculkan tudingan miring, yakni pemerintah pilih kasih terhadap konglomerat yang bersalah.

Soalnya, dalam operasi penyelamatan BII itu, pemerintah menjamin sepenuhnya risiko kredit yang diberikan kepada kelompok usaha yang dipimpin oleh Eka Tjipta Widjaya itu. Dengan begitu, kredit BII yang disalurkan ke Grup Sinar Mas, yang tadinya berupa kredit macet, langsung menjadi lancar. Portofolio pinjaman BII tidak
dibebani oleh kredit macet senilai Rp 12 triliun. Neraca BII lebih bersih.

Rizal Ramli pun meminta BPPN menagih pertanggungjawaban Grup Sinar Mas yang kreditnya macet di BII. Untuk itu, BPPN kemudian mengejar Grup Sinar Mas untuk menyerahkan agunan sebesar 145% dari total kewajibannya yang berjumlah Rp 12 triliun. Agunan itu bisa berasal dari aset Grup Sinar Mas maupun jaminan pribadi Eka Tjipta Widjaya. Grup Sinar Mas diberi keleluasaan hingga akhir September 2003 untuk menuntaskan semua kewajibannya kepada BII.

Begitulah kekisruhan BII bisa dituntaskan dengan pola penyelesaian yang cantik dan inovatif.*(dari buku: “RR Lokomotif Perubahan”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar