Rabu, 17 Juli 2013

Saat Rizal Ramli Menjabat Menko Ekonomi, “Menggaet Rp.5 Triliun tanpa Menjual Saham”

[RR1-online]:
GAWAT! Ribuan karyawan PT Telkom (Telekomunikasi Indonesia) menentang gagasan penghapusan kepemilikan silang (cross ownership) dan manajemen silang (cross management) antara PT Telkom dan PT Indosat di puluhan anak perusahaannya yang dicetuskan Menko Perekonomian Rizal Ramli. Suara keras para karyawan yang tergabung dalam Sekar (Serikat Karyawan) Telkom itu mulanya berupa cetusan kekecewaan yang dimuat di koran-koran.

Belakangan, seiring dengan kian dekatnya pelaksanaan pemisahan kepemilikan silang itu, para karyawan pun turun ke jalan. Ribuan karyawan PT Telkom mendatangi kantor Departemen Perhubungan di Jalan Medan Merdeka, Jakarta, dan meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut. Orasi yang dilakukan karyawan Telkom semakin lama juga kian panas.



Menteri Perhubungan Agum Gumelar segera mengontak Menko Perekonomian Rizal Ramli. Dia memberitahukan adanya gelombang demonstran yang mendatangi kantornya. Rizal Ramli sigap merespons. “Pak Agum, tolong diterima 100 orang perwakilan karyawan di Gedung Indosat. Pilih yang paling bandel,” kata Rizal Ramli lewat telepon. Ia juga meminta segenap jajaran direksi dan komisaris PT Telkom dan Indosat datang ke kantor Indosat. Rizal Ramli segera meluncur.

Begitu memasuki Gedung Indosat, rapat dadakan antara Menko Perekonomian Rizal Ramli, Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Dirut Telkom Muhammad Nazif, Dirut PT Indosat Harry Kartana, beserta segenap direksi lain dan komisarisnya
segera digelar. Para karyawan yang marah tampak gelisah. Mereka terus saja menyuarakan aspirasinya: rencana pemisahan
kepemilikan silang dan manajemen silang agar dibatalkan.

Rizal Ramli segera berdiri dan berteriak lantang: “Siapa pemimpin kalian. Ayo angkat tangan!”
Suasana menjadi senyap. Tak satu pun karyawan yang angkat tangan.

Rizal Ramli sengaja menggertak, untuk mengukur seberapa besar kadar militansi para pendemo itu. Kemudian, dalam nada yang lebih rendah, Rizal menyatakan, apa yang menjadi tuntutan karyawan Telkom akan ditampung dan diputuskan saat itu juga. Sebaliknya, kalau tuntutan itu tidak benar, tidak wajar, dan mengadaada, tentu saja mesti dicabut. “Nah, apa keberatan kalian?” tanya Rizal.
Seorang karyawan Telkom menyatakan, ia tidak setuju dengan kebijakan itu. Sebab, jika terjadi pemisahan, statusnya sebagai karyawan Telkom akan berubah menjadi karyawan Indosat. “Saya tidak mau karena gaji Indosat lebih rendah dari gaji Telkom,” ujarnya.

Rizal Ramli langsung mengkonfirmasikan hal itu. Ternyata, dari penjelasan direksi Telkom maupun Indosat, yang beralih statusnya dari karyawan Tekom ke Indosat justru akan mendapatkan kenaikan gaji! Rizal pun langsung meledak. Ia merasa kecewa karena direksi Telkom dan Indosat dinilai tidak menjalankan kewajibannya untuk menjelaskan kebijakan pemerintah mengenai diakhirinya kepemilikan dan manajemen silang kedua BUMN itu di sejumlah anak perusahaan secara tuntas dan transparan. Mendengar bosnya “disemprot”, para karyawan bertepuk tangan.

Begitulah, satu demi satu tuntutan karyawan dievaluasi. Yang benar dan wajar langsung dieksekusi. Sebaliknya, yang tidak benar, langsung ditolak. Misalnya, sikap “keras” para karyawan yang ogah menerima kebijakan pemisahan itu. “Saya tidak peduli apa alasannya. Kalau pemisahan itu jadi dilakukan, saya akan tuntut Menko Perekonomian ke pengadilan,” kata seorang karyawan.

Rizal Ramli tersenyum mendengar ucapan karyawan itu. “Silakan tuntut saya. Sebab, dalam sejarah hidup saya, sejak mahasiswa, sudah dituntut lebih 12 kali di pengadilan. Dan dalam banyak kasus, saya menang terus,” ujarnya.

Pertemuan yang tadinya diperkirakan akan alot dan panas itu, berakhir dengan menyenangkan. Pengurus Sekar Telkom berpelukan dengan Menteri Perekonomian Rizal Ramli, Menteri Perhubungan Agum Gumelar, dan segenap pimpinan Telkom serta Indosat. Mereka merasa puas, karena berbagai keluhan yang disampaikan bukan cuma ditampung, melainkan diselesaikan saat itu juga.

Sebuah terobosan yang tidak lazim di kalangan pejabat, memang. Sebab, biasanya keluhan dan tuntutan para karyawan hanya ditampung dan dibicarakan, lalu kemudian dibiarkan begitu saja sampai tuntutan itu mereda. Atau, kembali ditampung ketika keresahan karyawan berubah wujud menjadi aksi demo.

DAPAT DANA Rp.5 Triliun
Lalu, apa sebenarnya latar belakang kebijakan pemisahan kepemilikan saham dan pemisahan manajemen anak-anak perusahaan Telkom-Indosat itu. Ternyata, pemerintahan Gus Dur-Megawati ketika itu perlu dana banyak untuk menambal Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Jika mau mengikuti anjuran Dana Moneter Internasinal (IMF)-Bank Dunia (World Bank), caranya sangat gampang.
Jual saham-saham BUMN yang bagus dan menguntungkan. Hasil penjualannya, dipakai untuk membiayai APBN.
Sangat sederhana. Tapi, jika privatisasi model IMF-Bank Dunia itu dijalankan, sebagaimana dilakukan di Rusia pada masa pemerintahan Boris Yeltsin pada tahun 1991-1999, ternyata arahnya berbelok dari privatisasi menjadi piratisasi alias perampokan. Istilah itu diungkapkan oleh Prof. Marshall Goldman dari Harvard University, Amerika Serikat.

Maklum, aset negara (BUMN) itu kemudian dijual dengan harga sangat murah. Akibatnya raja-raja ekonomi baru bermunculan, yaitu mereka yang mampu dengan cepat menumpuk kekayaannya dengan memborong aset BUMN yang harganya supermurah. Penyebabnya tak lain karena valuasi aset negara itu terlalu rendah.

Sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli ogah mengobral saham BUMN yang bagus seperti PT Telkom dan PT Indosat, yang sahamnya dikenal sebagai saham blue chips di Bursa Efek Jakarta. Apalagi keduanya sudah dual listing dengan mencatatkan sahamnya di pasar modal Nasdaq, Amerika.

Kalaupun privatisasi hendak dilakukan, Rizal lebih memilih cara menjual saham BUMN ke publik lewat mekanisme pasar modal. Dengan cara itu, para pemilik uang di dalam negeri, termasuk lembaga-lembaga
keuangan nasional yang memiliki sumber dana berlebih, berkesempatan membeli saham BUMN itu secara kompetitif.

Hal itulah yang dilakukan pemerintah Malaysia pada masa kepemimpinan Dr. Mahatthir Mohammad, sehingga kekuatan ekonomi nasional juga menjadi kokoh. Jadi, bukan dengan cara strategic sale, yang cenderung mengubah makna privatisasi menjadi sekadar asingisasi. Privatisasi dengan pola strategic sale kerap dilakukan tidak transparan, cenderung dengan harga obral sehingga merugikan negara, dan jatuh ke pihak asing.

“Saya tidak mau melakukan privatisasi ugal-ugalan seperti itu,” kata Rizal. Selain itu, yang dilepas ke publik juga bukan BUMN pencetak duit, seperti Telkom dan Indosat, melainkan BUMN yang kinerjanya
memble. Nah, dengan masuknya investor baru sebagai pemegang saham di BUMN itu, diharapkan akan memperbaiki manajemen dan kinerjanya.

Penjualan saham BUMN lewat pasar modal adalah cara yang konvensional. Ada langkah inovatif dan terobosan baru yang dilakukan Rizal Ramli untuk menggaet dana tanpa perlu melego selembar pun saham BUMN. Caranya, itu tadi, memisahkan kepemilikan silang dan manajemen silang antara PT Telkom dan Indosat.

Harap maklum, ketika itu Telkom dan Indosat memiliki puluhan anak perusahaan yang dimiliki dan dikelola bersama, antara lain, PT Telkomsel, PT Satelindo, dan PT Lintas Arta. Dalam rapat tertutup dengan Menteri Perhubungan Agum Gumelar, yang dihadiri segenap direksi dan komisaris kedua BUMN itu, Menko Perekonomian Rizal Ramli mencetuskan gagasan penghapusan cross ownership dan cross management tadi.

“Pemerintah menghendaki, kepemilikan silang dan manajemen silang di anak-anak perusahaan PT Telkom dan Indosat diakhiri, sehingga akan tercipta kompetisi yang fair di antara kedua raksasa telekomunikasi
Indonesia ini. Dengan demikian, rakyat sebagai konsumen akan lebih diuntungkan. Jadi, bukan terus-terusan mempraktikan kerjasama terselubung yang cenderung merugikan rakyat,” kata Rizal, membeberkan alasan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan kepemilikan saham kedua BUMN itu.

Kebijakan terobosan itu sekaligus memiliki berbagai dampak positif. Selain menghabisi kompetisi artifisial antara Telkom dan Indosat, kebijakan itu juga dimaksudkan sebagai persiapan kedua raksasa telekomunikasi domestik ini menghadapi tekanan liberalisasi telekomunikasi global yang akan tiba antara 5-10 tahun mendatang.

Yang lebih penting lagi, pemisahan kepemilikan silang itu juga bisa mendatangkan dana segar bagi keuangan negara sebesar Rp.5 triliun. Uang itu berasal dari pajak transaksi dan pajak revaluasi aset kedua BUMN. Bayangkan, mendapatkan dana ekstra Rp.5 triliun tanpa kehilangan saham. Sebuah terobosan yang sangat tidak lazim, memang.(dari buku: “RR Lokomotif Perubahan”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar